Menelusuri Syeh Albani

  Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani
lahir di Shkoder, Albania; 1914 / 1333 H
meninggal di Yordania ; 1 Oktober 1999 / 21 Jumadil Akhir 1420 H
umur 84–85 tahun
adalah salah seorang ulama Islam di era modern yang dikenal sebagai ahli hadits. Ia dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya lantaran ketekunan dan keseriusan mereka terhadap ilmu, khususnya ilmu agama dan ahli ilmu (ulama).[1] Ayah al-Albani, yaitu al-Haj Nuh, adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syariat di ibu kota negara Turki Usmani (yang kini menjadi Istanbul). Ia wafat malam Sabtu, 21 Jumada Tsaniyah 1420 H, atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999.

Belajar tanpa guru
Nuh (ayah Muhammad Nasiruddin Albani) sekeluarga pinda dari Albania menuju Syam (Suriah, Yordania dan Lebanon sekarang). Nuh sekeluarga akhirnya menuju Damaskus.
Setiba di Damaskus, Albani kecil mulai aktif mempelajari Bahasa Arab. Ia masuk madrasah yang dikelola Jum'iyah al-Is'af al-Khairiyah hingga kelas terakhir tingkat Ibtida'iyah.
Selanjutnya, ia meneruskan belajarnya langsung kepada para syeikh ulama.
Namun tidak jelas siapa gurun sebenarnya.
Ia hanya mempelajari al-Qur'an dari ayahnya sampai selesai, selain mempelajari pula sebagian fiqih madzhab, yakni madzhab Hanafi, dari ayahnya.

Albani juga mempelajari ketrampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul, sehingga ia menjadi seorang ahli yangterkenal. Ketrampilannya itu kemudian menjadi mata pencariannya.

Pada umur dua puluh tahun, Albani mulai mengonsentrasikan diri pada ilmu hadits, terpengaruh dengan pembahasan-pembahasan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha.

Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul al-Mughni 'an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar, sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya' Ulumuddin karangan Imam Al-Ghazali.
Kegiatan Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya yang berkomentar, "Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit."
Namun, Albani justru semakin menekuni dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Albani tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab. Karenanya, ia memanfaatkan Perpustakaan azh-Zhahiriyah di Damaskus, di samping itu juga meminjam buku dari beberapa perpustakaan khusus.

Akhirnya, kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuknya. Bahkan kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, ia menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum pengunjung lain datang. Hal ini dilakukan hingga bertahun-tahun.

====================== 
Sekilas tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiran Albani

Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha'uddin Al-Qalmuni Al-Husaini (dikenal sebagai Rasyid Ridha; 1865-1935) adalah seorang intelektual muslim dari Suriah yang mengembangkan gagasan modernisme Islam yang awalnya digagas oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ridha mempelajari kelemahan-kelemahan masyarakat muslim saat itu, dibandingkan masyarakat kolonialis Barat, dan menyimpulkan bahwa kelemahan tersebut antara lain kecenderungan umat untuk mengikuti tradisi secara buta (taqlid), minat yang berlebihan terhadap dunia sufi dan kemandegan pemikiran ulama yang mengakibatkan timbulnya kegagalan dalam mencapai kemajuan di bidang sains dan teknologi. Ia berpendapat bahwa kelemahan ini dapat diatasi dengan kembali ke prinsip-prinsip dasar Islam dan melakukan ijtihad dalam menghadapi realita modern.
Mulai tahun 1898 hingga wafat(1935), Ridha menerbitkan surat kabar yang bernama Al-Manar.

Muhammad Abduh
Lahir di Delta Nil (kini wilayah Mesir), 1849 – meninggal di Iskandariyah (kini wilayah Mesir), 11 Juli 1905 pada umur 55/56 tahun) adalah seorang pemikir muslim dari Mesir, dan salah satu penggagas gerakan modernisme Islam.
Ia belajar tentang filsafat dan logika di Universitas Al-Azhar, Kairo, dan juga murid dari Jamal al-Din al-Afghani, seorang filsuf dan pembaru yang mengusung gerakan Pan Islamisme untuk menentang penjajahan Eropa di negara-negara Asia dan Afrika.

Muhammad Abduh diasingkan dari Mesir selama enam tahun sejak 1882, karena keterlibatannya dalam Pemberontakan Urabi. Di Lebanon, Abduh sempat giat dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam. Pada tahun 1884, ia pindah ke Paris, dan bersalam al-Afghani menerbitkan jurnal Islam The Firmest Bond.
Salah satu karya Abduh yang terkenal adalah buku berjudul Risalah at-Tawhid yang diterbitkan pada tahun 1897.
Pemikirannya banyak terinspirasi dari Ibnu Taimiyah, dan pemikirannya banyak menginspirasi organisasi Islam, salah satunya Muhammadiyah, karena ia berpendapat, Islam akan maju bila umatnya mau belajar, tidak hanya ilmu agama, tapi juga ilmu sains.
===================== 
Al al-Bani mulai beraksi.

Mari kita lihat perkataan al-Albani dalam kata pengantar cetakan pertama kitabnya Shahih al-Kalim ath-Thayyib li ibn Taimiyyah yang tercantum di halaman 16, cetakan ke-1 tahun 1390 H:
انصح لكل من وقف على هذا الكتاب و غيره, ان لا يبادر الى العمل بما فيه من الاحاديث الا بعد التأكد من ثبوتها, وقد سهلنا له السبيل الى ذلك بما علقناه عليها, فما كان ثابتا منها عمل به وعض عليه النواجذ, والا تركه

“Aku nasihatkan kepada setiap orang yang membaca buku ini atau buku yang lainnya, untuk tidak cepat-cepat mengamalkan hadits-hadits yang tercantum di dalam buku-buku tersebut, kecuali setelah benar-benar menelitinya. Aku telah memudahkan jalan tersebut dengan komentar-komentar yang aku berikan atas hadits tersebut, apabila hal tersebut (komentar dariku) ada, maka barulah ia mengamalkan hadits tersebut dan menggigit gerahamnya. Jika tidak ada (komentar dariku), maka tinggalkanlah hadits tersebut.”
Perhatikan, dari perkataan al-albani diatas (perhatikan juga bahwa tata bahasa arab yang digunakan dalam beberapa kalimat terakhir di atas juga kacau balau, meskipun susunannya kacau balau masih dapat ditangkap maksudnya) dapat dipahami bagaimana albani memposisikan dirinya sebagai ahli hadits yang kemampuannya melebihi ulama hadits mu’tabar yang terdahulu.
Dia melarang umat muslim untuk  mengamalkan hadits-hadits shahih dari para imam muhaddits besar seperti al-Imaam al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan lain-lain terkecuali setelah ada komentar dari al-albani bahwa hadits-hadits itu dinyatakan sebagai hadits shahih oleh al-albani.
Jika tidak dikatakan shohih oleh al-albani, maka hadits-hadits tersebut ditinggalkan atau tidak boleh diamalkan sama sekali.
Sekarang yang menjadi permasalahan adalah, Apakah kapasitas keilmuan al-albani lebih jauh hebat daripada ulama’-ulama’ muhaddits terdahulu?
Sedangkan ulama’ – ulama’ ahli hadits yang mu’tabar tersebut masa kehidupannya jauh lebih dekat dengan masa Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam.
Coba bandingkan dengan masa kehidupan al-albani di abad 20 Masehi ini yang sangat jauh dari masa Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam?

Sungguh hebat, seorang ahli jam yang belajar dari perpustakaan dapat melakukan hal seperti itu.

Dari statement singkat al-albani yang tercantum di dalam kata pengantar bukunya tersebut, dapat disimpulkan juga  bahwasanya menurut albani dan pengikutnya apabila sebuah hadits tidak ada “embel-embel”  dishahihkan oleh al-albani maka hadits tersebut diragukan keshahihannya meskipun hadits tersebut tercantum di dalam kitab-kitab hadits tershohih sekalipun seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Kembali kepada kata pengantar dari albani diatas, perhatikan kalimat bawah:

فما كان ثابتا منها عمل به وعض عليه النواجذ, والا تركه …

“…apabila hal tersebut (komentar dariku) ada, maka barulah ia mengamalkan hadits tersebut dan menggigit gerahamnya.”

Kalimat diatas akan sangat terasa rancu bagi mereka yang terbiasa dengan bahasa arab, karena terkesan canggung dan menggelikan. Seharusnya, apabila memang al-albani adalah orang yang mumpuni di bidang hadits, tentunya beliau tidak akan menuliskannya dengan tata bahasa yang kacau balau.

Syaikh Hasan bin Ali As-Saggaf meluruskan kalimat tersebut di dalam kitabnya “Tanaqqudhat al-Albani al-Wadhihah”:
  
الصحيح ان يقول: إعمل به وعض عليه بالنواجذ. وقد أخطأ فى التعبير لضعفه فى اللغة

“Kalimat yang benar seharusnya berbunyi: “I’mal bihi wa ‘adhdhu ‘alaihi bi an-nawajidz” yang artinya: amalkanlah dan gigitlah dengan gerahammu kuat-kuat. Dan sungguh ia telah salah di dalam mengungkapkan kalimat itu dikarenakan lemahnya ia di dalam berbahasa arab.”

Penyelewengan terhadap kitab Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 
karya imam ibn Abu al-Izz
Muhammad Nashiruddin al-Albani dan Zuhair asy-Syawistelah melakukan penyelewengan atas perkataan Imam as-Subki dalam kitab Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah karya imam ibn Abu al-Izz yang ditakhrijnya. Dan sangat terlihat sekali tujuan dari pemotongan kalimat ini bertujuan untuk memberikan kesan baik tentang akidah tajsim dan tasybih kaum Salafi Wahabi yang telah digambarkan buruk oleh Imam Ibn Abu al-Izz, pengarang kitab tersebut. Sebagaimana yang sudah masyhur di kalangan para ulama’ pengkaji tauhid, Imam as-Subki adalah termasuk salah seorang ulama yang paling menentang akidah tajsim dan tasybih.
Perkataan imam as-Subki yang telah mereka palsukan itu berubah menjadi seperti ini:

وهذه المذاهب الأربعة – ولله تعالى الحمد – فى العقائد واحدة, إلا من لحق منها بالإعتزال والتجسيم, وإلا فجمهورها
على الحق يقرون عقيدة ابى جعفر الطحاوى التى تلقاها العلماء سلفا وخلفا بالقبول

“Madzhab yang empat ini – alhamdulillah –  adalah satu dalam hal akidah, kecuali orang-orang yang menempuh faham mu’tazilah dan tajsim. Jika tidak begitu, maka jumhur ulama berhak mengukuhkan akidah Abu Ja’far ath-Thahawi yang diterima dengan baik oleh para ulama baik salaf maupun khalaf.”
Scan lengkapnya (kalimat tersebut tercantum pada bagian footnote nomor 1):

syarh aqidah ath-thahawiyyah oleh albani

Padahal, sebenarnya perkataan imam as-Subki yang telah dinukil oleh imam ibn Abu al-Izz dari kitabnya Mu’id an Ni’am wa Mubid an-Niqam pada halaman 62 tertulis seperti ini:
 
shahih syarh aqidah ath-thahawiyyah syaich hasan ibn ali assaqqafi

Dan Ulama’-ulama’ madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan pembesar-pembesar madzhab Hanbali –alhamdulillah- dalam hal akidah adalah bersatu, semua berdasarkan akidah Ahlussunnah wal jama’ah. Mereka beragama kepada Allah melalui jalan asy-Syaikh as-Sunnah Abu al-Hasan al-Asy’ari, semoga Allah merahmati beliau. Tidak ada yang menyimpang dari akidah ini kecuali segelintir orang dari madzhab Hanafi dan Syafi’i yang mana diantara mereka menempuh faham mu’tazilah. Sedangkan segelintir orang dari madzhab Hanbali menempuh faham tajsim. Dan Allah menyelamatkan para ulama madzhab Maliki, sehingga kami tidak melihat seorang pun dari ulama Maliki kecuali dia seorang Asy’ari dalam hal akidah. Kesimpulannya, akidah Asy’ari adalah akidah yang sama dengan akidah Abu Ja’far ath-Thahawi yang diterima oleh para ulama madzhab dengan baik dan mereka meridhainya.”
[lihat kitab Shahih Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah oleh asy-Syaich Hasan ibn Ali Assaqqafi halaman 18]
Penjelasan Imam as-Subki tentang penyelewengan dari segelintir orang-orang madzhab Hanbali yang menempuh faham tajsim ini tidak disebutkan sama sekali oleh Zuhair asy-Syawis pada muqaddimahnya di dalam kitab Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyyah yang ditakhrij oleh al-Albani. Dan tentu saja pemotongan kalimat yang dilakukan dengan sengaja atas perkataan ulama’ seperti ini sungguh tidak layak untuk dilakukan, dan dalam kasus ini sangat jelas sekali hal ini dilakukan bertujuan untuk menutupi faham tajsim yang dibawa pentakhrij.

IJASAH SANAD SYEIKH AL-ALBANI

Ada artikel yang menarik mengenai tidak adanya ijazah (sanad yg muttashil) syaikh Albani. Ini di dapat dari seorang ahli hadits, syaikh Shu‘ayb al-Arna’ut yang merupakan satu kampung dengan Sykeh Albani. Sama-sama merantau dari Albania ke Damascus. Artikel dalam bahasa Inggris.

Silakan lihat di http://www.masud.co.uk/ISLAM/nuh/masudq6.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar