Imam Nawawi di dalam kitab Tahzib Al Asmaa` Wa Al Lughat:
Bid`ah di dalam syariat adalah mengadakan sesuatu yang tidak ada di masa
Rasul saw. dan bid`ah terbagi kepada dua; hasanah (baik) dan qabihah (tercela).
Dari komentar para Huffaz diatas dipahami rambu-rambu dalam menilai sebuah
perbuatan adalah bid`ah atau tidak. Bid`ah ternyata tidak dipahami dengan
sempit, akan tetapi beghitu lapang!
===========================
Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi
Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun
631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang
merupakan ibukota Suriah. Beliau dididik oleh ayah beliau yang terkenal
dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar di katatib (tempat
belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum
menginjak usia baligh.
Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi
melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia
menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Syaikh ini
berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan
paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada
umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin besar.
An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilmi-nya
ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah-halaqah ilmiah yang diadakan oleh
para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah di dekat
Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya
yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam
sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Ia pun mengungguli
teman-temannya yang lain. Ia berkata: “Dan aku menulis segala yang
berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun
pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah
dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].
Diantara syaikh beliau: Abul Baqa’ An-Nablusiy, Abdul Aziz bin
Muhammad Al-Ausiy, Abu Ishaq Al-Muradiy, Abul Faraj Ibnu Qudamah
Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad Al-Maghribiy dan Ibnul Firkah. Dan diantara
murid beliau: Ibnul ‘Aththar Asy-Syafi’iy, Abul Hajjaj Al-Mizziy, Ibnun
Naqib Asy-Syafi’iy, Abul ‘Abbas Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil Hadi.
Pada tahun 651 H ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian
ia pergi ke Madinah dan menetap disana selama satu setengah bulan lalu
kembali ke Dimasyq. Pada tahun 665 H ia mengajar di Darul Hadits
Al-Asyrafiyyah (Dimasyq) dan menolak untuk mengambil gaji.
Beliau digelari Muhyiddin (yang menghidupkan agama) dan membenci gelar ini karena tawadhu’
beliau. Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan kokoh,
tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas
orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa
beliau berkata: “Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin.”
Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah
dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan.
Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis. Beliau juga
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa,
dengan cara yang telah digariskan Islam. Beliau menulis surat berisi
nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus sekali. Suatu ketika
beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah
fatwa. Datanglah beliau yang bertubuh kurus dan berpakaian sangat
sederhana. Raja pun meremehkannya dan berkata: “Tandatanganilah fatwa
ini!!” Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan.
Raja marah dan berkata: “Kenapa !?” Beliau menjawab: “Karena berisi
kedhaliman yang nyata.” Raja semakin marah dan berkata: “Pecat ia dari
semua jabatannya!” Para pembantu raja berkata: “Ia tidak punya jabatan
sama sekali.” Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja
ditanya: “Kenapa tidak engkau bunuh dia padahal sudah bersikap demikian
kepada Tuan?” Raj apun menjawab: “Demi Allah, aku sangat segan padanya.”
Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab, diantaranya:
- Dalam bidang hadits: Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al-Minhaj (Syarah Shahih Muslim), At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.
- Dalam bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’.
- Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.
- Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.
Kitab-kitab ini dikenal secara luas termasuk oleh orang awam dan
memberikan manfaat yang besar sekali untuk umat. Ini semua tidak lain
karena taufik dari Allah Ta’ala, kemudian keikhlasan dan kesungguhan
beliau dalam berjuang.
Secara umum beliau termasuk salafi dan berpegang teguh pada manhaj
ahlul hadits, tidak terjerumus dalam filsafat dan berusaha meneladani
generasi awal umat dan menulis bantahan untuk ahlul bid’ah yang
menyelisihi mereka. Namun beliau tidak ma’shum (terlepas dari
kesalahan) dan jatuh dalam kesalahan yang banyak terjadi pada
uluma-ulama di zaman beliau yaitu kesalahan dalam masalah sifat-sifat
Allah Subhanah. Beliau kadang men-ta’wil dan kadang-kadang tafwidh. Orang yang memperhatikan kitab-kitab beliau akan mendapatkan bahwa beliau bukanlah muhaqqiq
dalam bab ini, tidak seperti dalam cabang ilmu yang lain. Dalam bab ini
beliau banyak mendasarkan pendapat beliau pada nukilan-nukilan dari
para ulama tanpa mengomentarinya.
Adapun memvonis Imam Nawawi sebagai Asy’ari, itu tidak benar karena
beliau banyak menyelisihi mereka (orang-orang Asy’ari) dalam
masalah-masalah aqidah yang lain seperti ziyadatul iman dan khalqu af’alil ‘ibad.
Karya-karya beliau tetap dianjurkan untuk dibaca dan dipelajari, dengan
berhati-hati terhadap kesalahan-kesalahan yang ada. Tidak boleh
bersikap seperti kaum Haddadiyyun yang membakar kitab-kitab karya beliau
karena adanya beberapa kesalahan di dalamnya.
Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa kerajaan Saudi ditanya tentang aqidah beliau dan menjawab: “Lahu aghlaath fish shifat” (Beliau memiliki beberapa kesalahan dalam bab sifat-sifat Allah).
Imam Nawawi meninggal pada 24 Rajab 676 H -rahimahullah wa ghafara lahu-.
Catatan: Lihat biografi beliau di Tadzkiratul Huffazh 4/1470, Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra 8/395, dan Syadzaratudz Dzahab 5/354